Di tepian Sungai Musi yang tenang, di wilayah yang kini dikenal sebagai Palembang, Sumatera Selatan, pernah berdiri sebuah kerajaan besar yang mengharumkan nama Nusantara di kancah internasional. Kerajaan itu bernama Sriwijaya, sebuah kerajaan maritim yang menguasai lautan dan perdagangan di Asia Tenggara selama berabad-abad. Kejayaannya bukan hanya tercermin dari kekuatan ekonomi dan militernya, tetapi juga dari perannya sebagai pusat ilmu pengetahuan dan agama Buddha di kawasan timur dunia.
Asal-usul Sriwijaya dapat ditelusuri melalui Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang dan berangka tahun 683 Masehi. Dalam prasasti itu tertulis kisah perjalanan suci Dapunta Hyang Sri Jayanasa, sang pendiri kerajaan, yang berlayar bersama pasukannya untuk menaklukkan berbagai wilayah dan mendirikan kerajaan besar bernama Sriwijaya. Dari catatan itu pula diketahui bahwa Sriwijaya telah memiliki sistem pemerintahan yang teratur serta kekuatan politik yang luas pada masa awal berdirinya.
Selain sumber lokal, catatan sejarah dari luar negeri juga menyinggung kebesaran Sriwijaya. Seorang biksu asal Tiongkok bernama I-Tsing pernah singgah di Sriwijaya sekitar tahun 671 M dalam perjalanannya menuju India. Dalam tulisannya, ia menggambarkan Sriwijaya sebagai negeri yang makmur, dengan ribuan pelajar dan biksu yang mendalami ajaran agama Buddha. I-Tsing bahkan menyarankan para pelajar dari Tiongkok untuk belajar terlebih dahulu di Sriwijaya sebelum melanjutkan perjalanan ke India, karena sistem pendidikan agama di kerajaan ini sudah sangat maju.
Pada masa kejayaannya, sekitar abad ke-8 hingga ke-10 Masehi, Sriwijaya menjadi pusat perdagangan internasional. Letak strategisnya di jalur pelayaran Selat Malaka menjadikannya sebagai simpul penting dalam perdagangan antara India, Tiongkok, dan Timur Tengah. Kapal-kapal dari berbagai bangsa singgah di pelabuhannya, membawa rempah-rempah, kain sutra, logam mulia, dan berbagai barang berharga lainnya. Dengan kekuatan armada laut yang besar, Sriwijaya mampu menguasai jalur perdagangan dan memungut pajak dari setiap kapal yang melintas. Kekayaan ini menjadikan kerajaan tersebut makmur dan disegani.
Namun, seiring berjalannya waktu, kejayaan itu perlahan memudar. Sekitar abad ke-11 Masehi, Sriwijaya diserang oleh Kerajaan Cola dari India Selatan. Serangan besar pada tahun 1025 M menghancurkan sebagian besar kekuatan maritimnya. Kerajaan-kerajaan baru mulai bermunculan di Nusantara, seperti Dharmasraya di Sumatera dan Majapahit di Jawa, yang semakin mempersempit pengaruh Sriwijaya. Pusat perdagangan pun bergeser, dan perlahan kerajaan maritim ini kehilangan kemegahannya. Pada abad ke-13, nama Sriwijaya pun mulai hilang dari catatan sejarah sebagai kekuatan besar.
Meski demikian, warisan Sriwijaya tetap hidup hingga kini. Bahasa Melayu Kuno yang digunakan dalam prasasti-prasastinya menjadi cikal bakal Bahasa Indonesia modern. Nilai keterbukaan, kemaritiman, dan semangat belajar yang diwariskan Sriwijaya menjadi teladan bagi bangsa Indonesia masa kini. Dari puing-puing kejayaannya, kita belajar bahwa kekuatan sejati sebuah bangsa tidak hanya terletak pada kekuasaan, tetapi juga pada pengetahuan dan kemampuannya menjalin hubungan dengan dunia luar.
Sriwijaya bukan sekadar kerajaan yang pernah ada — ia adalah simbol kebanggaan sejarah, bukti bahwa jauh sebelum Indonesia berdiri, nenek moyang kita telah menguasai lautan dan menjadi bagian penting dari peradaban dunia.