Pada tanggal 27-28 Desember 2023 Mahasiswa angkatan 2021 Jurusan Sejarah Peradaban Islam semester 5 kelas AK4 melakukan penelusuran sumber sejarah ke Kabupaten Bulukumba.
Mahasiswa melakukan penelusuran di dampingi Dosen Mata Kuliah Praktek Penelusuran Sumber Sejarah yaitu:
1. Muhammad Kadril, S.Hum., M.Hum
2. Ahmad Habib Akramullah, S.Hum., M.Hum
3. Ummul Khair, S.Hum M.Hum
Penelusuran pertama ke Bonto Bahari Bulukumba, Mahasiswa melihat proses pembuatan kapal pinisi, yang dimana kayu yang dipakai untuk membuat perahu pinisi yaitu kayu besi dan kayu jati, dan lem yang dipake yaitu lem fox.
Penelusuran kedua ke makam Dato'ri Tiro yang berada di jalan Hila-hila, dinamakan jalan Hila-hila dan sungai Hilir diambil dari kalimat Syahadat, Ekatiro, Kec. Bonto Tiro, Kab. Bulukumba, Sulawesi Selatan
Dato'ri Tiro adalah pembawa agama Islam di Bulukumba, sehingga makamnya memiliki sejarah. Dato'ri Tiro bernama asli Nurdin Ariyani atau Abdul Jawad dengan gelar Khatib Bungsu, ia adalah ulama sufi dari Minangkabau dengan membawa ajaran tasawuf.
Penelusuran terakhir Ammatoa di kajang
Amma toa mengatakan bahwa di suku kajang ada dua warna yang dipakai yaitu warna hitam dan putih. Hitam merupakan warna adat yang kental akan kesakralan dan putih menunjukkan kesucian. Warna hitam mempunyai makna bagi masyarakat Ammatoa sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, seperti persamaan derajat dan kesederhanaan. Berbeda dengan masyarakat yang memakai baju putih.
Ada beberapa pertanyaan yang diajukan mahasiswa sesampai disana
pertama jika seseorang lelaki yang bukan berasal dari kajang ingin menikahi wanita yang berasal dari kajang apakah di perbolehkan? Dan jika di perbolehkan bagaimana proses pernikahan itu berlangsung, apakah tetap menggunakan adat yang di kajang atau sesuai dengan syariat Islam?
Jawabannya: menurut Ammatoa, pernikahan antara laki2 yang bukan berasal dari kajang dengan wanita yang berasal dari kajang di perbolehkan jika memang kedua pasangan saling mencintai dan memenuhi persyaratan pernikahan maka mereka dapat menikah tanpa masalah, kemudian adat pernikahan yang dilakukan tetap menggunakan adat kajang yang tidak menerima modernisme, dan tentunya harus memenuhi hukum adat perkawinan suku kajang yaitu pembayaran uang panai' dan sunrang yang di mulai dari sunrang tallu (tiga ekor kerbau) sampai dengan sunrang tujuh (tujuh ekor kerbau)
Editor: Alisah Fitriana